Sabtu, 22 Maret 2008

da stori taken plom SAMAN

Di taman Firdaus ada seorang lelaki yang terkejut. Bulan di atasnya menggantung. (Bulan dan langit itu, kelak akan jadi satu-satunya keindahan yang tak kenal umur, kata seorang anak yang lahir di dunia keparat kemudian hari). Matahari belum tenggelam.
Tetapi lelaki itu terkejut karena sebuah rusuknya hilang. Begitu kata bisikan Tuhan. (Mungkin juga semua; ia belum belajar anatomi.) Ke manakah rusukku? Di mana gerangan terseraknya? Tetapi ia melihat di depannya, sejarak lompatan macan, sesosok rupawan dengan dada berbuah sepasang, berdiri di bawah pohon pengetahuan. Itu tentu bukan binatang, karena lebih mirip diriku.. (lelaki itu telah melihat bayang rupanya pada permukaan kolam kemarin). Tapi, tanaman itu adalah terlarang. Begitu kata bisikan Tuhan.
Ia mendekat dan melihat lebih jelas: perempuan itu -begitu kelak ia menamainya- tertambat di sana, serupa tunas hijau muda yang tumbuh dari kambium. Kakinya terpasung oleh rantai yang terpasak pada akar yang bergurat urat serupa zakar. Perempuan itu menggeliat: "Ahh.."
"Bahkan semua binatang di taman ini diciptakan bebas, tetapi engkau terikat," ujar lelaki itu.
Dalam bayang-bayang, perempuan yang tertawan itu mencoba menggapai sulur-sulur yang menjulur. Buah pohon itu menggelantung, merah dan bening, meneteskan manis yang tak habis-habis, yang ketika jatuh ke tanah, menumbuhkan lumut yang harum dan batu-batu krisopras. Lalu perempuan itu menjilat-jilat. Ia berusaha menggigit, tetapi tangannya terikat.
Lelaki itu menjadi marah. "Itu buah terlarang" (Ia tidak tahu, perempuan itu adalah bagian penampangnya). Direnggutnya rambut yang tak terikat. Perempuan itu menggeliat: "Ahh, aku cuma haus.."
"Menjamahnya pun aku tak boleh. Maka, kau tak boleh". Lelaki yang suci itu menampar sehingga perempuan itu tergelincir. "Kau harus bersujud mengemis ampun". (Kepada siapa, Tuan?) ia bersimpuh tanpa membantah, sampai kedua ujung dadanya menyentuh kedua ibu jari kaki sang lelaki. Disekanya telapak itu dengan rambutnya. Kemudian ia tengadah, dengan setitik air di mata kirinya, setitik darah di mata kanannya. Lalu perlahan ia merambat ke atas, sepanjang tungkai lelaki tadi. Wajahnya berhenti di pangkalnya yang rimbun seperti pepohonan. Ia merintih "Kasihanilah, aku cuma haus. Buah yang ini bukan terlarang kan?"
Sang lelaki terdiam, tak menemukan jawabanya dalam angin (bahkan tak ada bisikan Tuhan). Perempuan itu membasuh tunas jantan yang menjulur dengan air matanya, lalu mengecupnya dengan air liurnya. Lelaki itu menggeliat. Pokok itu meranum, dan urat-uratnya menjadi matang dalam himpitan lidah dan langit-langit yang basah (bahkan langit di atas tak berembun).
Lalu terdengar geram laki-laki itu mengoyak awan ketika benihnya yang mentah menyembur. Tetes-tetes itu tidak menumbuhkan permata atau batu nilam. Melainkan seekor ular menyelinap ke dalam benaknya sambil terkekeh: "Nikmat itu dosa," ketika tubuhnya belum lagi selesai bergeletar.
Alam bisu. Dan si lelaki jadi galau (ke mana bisikan Tuhan?). Direnggutnya sekali lagi rambut perempuan yang masih mencari-cari sisa embun di kelangkangan dengan lidahnya. Perempuan itu merintih, "Ahh, aku cuma haus.."
"Kau mencabuliku. Bagimulah azab dan pedih!"
"Aku cuma haus. Tuan, engkau tak pernah tahu artinya cabul. Engkau tak tahu artinya terbelenggu. Engkau tak tahu artinya pedih. Bahkan peluh"
"Tapi aku bisa menentukannya ".
Seekor pari yang melayang lewat meminjamkan ekornya untuk menyesah orang berdosa.
Lelaki itu telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di selangkangannya sebuah liang yang harum birahi. "Engkau dinamai perempuan karena diambil dari rusuk lelaki". Begitu kata bisikan Tuhan yang tiba-tiba datang kembali. "Dan aku menamainya klentit karena serupa kontol yang kecil". Namun liang itu tidak diberinya sebuah nama. Melainkan, dengan ujung jarinya ia merogoh. Dan dengan penisnya ia menembus.
Perempuan itu menggeliat, tetapi tidak berteriak. Nafasnya hampir habis. Suaranya sudah habis. (Aku cuma haus..)
Tetapi lelaki itu belum habis menghujamkan zakar, dalam pandangan semua binatang di taman (kelak mereka lalu menirunya, dan anak-anak mendengar dari orang tua mereka sebagai permainan perang-perangan). Pinggulnya bergoyang hingga cair kelenjarnya menyembur dalam liang, yang harum birahi. Ia mengerang, bersama seekor ular yang menyelinap keluar dari benaknya, meninggalkan bisikan: "Nikmat itu dosa. Namun perempuan itu telah merasakan hukuman."
Tapi awan jadi teduh, riuh hewan lalu buyar, ketika seorang malaikat datang mengusir mereka dari pasir, ke tempat matahari bisa terbenam. "Aku bukan cuma haus," kini berkata lelaki itu. "Tapi juga lapar.."
Taken from: saman by ayu utami. Hal.191-194.1998. Jakarta: KPG

2 komentar:

my.mind mengatakan...

ini ni salah satu potongan cerita paporit q..
so sparkling klo katq..
sanagt berkilau,,
bagus bgdd
seni,,
terserah org mo mendoktrin ini cabul ato gmn,, yg jelas sama skali bukan stesel..
pokonya indah bgdd..
manusiawi bgdd..
buWagussssssss bgd..

salud buangettt bwt ayu utami..
kwerendd!!!!!!!!!!

my.mind mengatakan...

" and art partly completes what nature can not bring to finish. aart carries out nature's unrealized ends.." [Aristoteles]